Harian Kompas edisi Jumat, 28 Juni 2019 pada halaman pertama menurunkan berita tentang penghargaan Kompas bagi cendekiawan berdedikasi 2019. Diberitakan bahwa kali ini penghargaan diberikan kepada Prof. Ramlan Surabakti, MA, PhD, pengajar Ilmu Politik di Universitas Airlangga dan Prof. dr Herawati Supolo Sudoyo, PhD, ahli genetika manusia di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dan Ketua Komisi Ilmu Kedokteran Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. Siapa sesungguhnya kedua Guru Besar ini, silakan ditelusuri sendiri.

 Yang paling esensial dari diberikannya penghargaan kepada kedua tokoh itu yakni kontribusi pikiran dan karya mereka. Keduanya dinilai berjasa besar karena telah menyumbangkan pikiran dan karya mengenai berbagai persoalan di Indonesia. Tercatat, sejak 28 Juni 1965 Surabakti dan Sudoyo telah menjadi kontributor artikel (Kompas,28/6).  Berbagai artikel mereka dipublikasikan di Kompas, dan ini semata hanya demi kemajuan ilmu pengetahuan serta masyarakat. Dalam rumusan filosofis, keduanya bekerja untuk ilmu in se, ilmu demi ilmu itu sendiri. Mereka dianggap tidak memiliki kepentingan lain di luar ini, apalagi demi popularitas dan sikap pragmatis serta subjektif.

 Kabiru Isa Dandago dalam Time Management in The Life of Scholar (2015:40) menyebut ciri utama seorang cendekiawan ialah yang selalu bersikap objektif, adil dan hati-hati. Menurut Dandago, objektivitas seorang cendekiawan itu diukur dengan memperhatikan sikap dan pemikirannya berdasarkan fakta, bukan berdasar asumsi pribadi atau subjektivias dengan balutan sekian kepentingan. Karenanya, menjadi seorang cendekiawan itu sebenarnya tidak susah. Cukup dengan berpikir objektif saja. Melihat dalam terang pengetahuan dan fakta.

 Tetapi, berpikir objektif saja tentu belum cukup. Dari diri seorang cendekiawan dituntut pula sikap adil dan sikap kehati-hatian. Sikap seperti ini nampaknya masih sulit ditemukan dalam diri kaum intelektual Indonesia saat ini. Terlebih, misalnya, ketika bangsa Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum (Pemilu). Di pesta demokrasi lima tahunan ini, masyarakat dapat melihat dengan jelas betapa sebagian kaum intelektual Indonesia begitu mudah terjebak dan dijebak karena mereka tidak bersikap adil dan hati-hati. Kualitas sebagian intelektual kita justru turun ke titik terendah karena ketidaksanggupan mereka untuk melihat dan menilai secara adil. Bahkan, ada juga tokoh intelektual kita yang asal omong saja, ngerocos begitu istilah Jawanya. Asal mereka bisa tampil dan bicara di televisi. Asal omongan mereka bisa segera viral di media sosial. Soal kebenaran bicara itu nomor kesekian. Yang penting bisa bersuara, suara kebohongan pun tak masalah. Sebuah kondisi yang oleh Heru Nugroho disebut sebagai banalitas intelektual. Penurunan kualitas intelektual yang sangat memprihatinkan.

 Bukan hanya di dunia politik saja seperti saat pemilu, banalitas intelektual pun merambah hingga ke kampus-kampus Indonesia. Perguruan Tinggi (PT) yang seharusnya menjadi embrio kaum cendekiawan justru menjadi tempat praktik pembuatan ijazah palsu. Praktik pemalsuan ijazah ini bahkan pernah dilakukan oleh sekitar 20 PT pada 2005 (Baca: Dikti Pernah Umumkan Perguruan Tinggi Pembuat Ijazah Palsu, CNN, 28/5/2015). Pengkhianatan akademik seperti ini diperparah lagi dengan kecendrungan pragmatisme di kalangan intelektual. Tidak perlu mengambil contoh jauh-jauh. Rocky Gerung (RG) sejatinya adalah seorang intelektual pragmatis di depan mata kita. Bukan rahasia lagi bahwa selama proses Pilpres 2019, RG sukses mempolitisasi latar belakang dan reputasinya sebagai dosen Filsafat di sebuah kampus negeri ternama di Indonesia. Terkesan bahwa ia sanggup meyakinkan publik dengan omongannya yang begitu  akademis, cendekia, dan filosofis serta netral dari kepentingan politis. Padahal, kenyataannya tidak demikian. Kalau dicermati dengan seksama, omongan RG hanya berupa lontaran-lontaran gagasan yang tidak sistematis dan kabur – jauh dari karakter pemikiran seorang filsuf. RG ini hanyalah sebuah contoh dari adanya pengingkaran akademik atas nilai-nilai abstrak abadi seperti kebenaran dan keadilan.

 Indonesia butuh cendekiawan yang mampu mengabdi pada kebenaran dan keadilan. Selain berdedikasi pada bidang ilmunya, dibutuhkan pula cendekiawan yang mampu menangkap berbagai perubahan cepat di tengah masyarakat dan melakukan refleksi kritis. Terutama di saat penyebaran berita bohong (hoax) terjadi secara massif di media sosial, cendekiawan sudah seharusnya tampil dan menyuarakan kebenaran yang sesungguhnya. Ada semacam keterlibatan nyata cendekiawan untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Karenanya, seorang cendekiawan harus berani keluar dari zona nyamannya. Cendekiawan yang tidak hanya sekedar pamer intelektual (intellectual of spectacle) secara teoritis  di televisi dan media mainstream lainnya namun nihil dalam aksi nyata demi kemajuan masyarakat dan bangsa Indonesia. Selamat kepada Prof. Surabakti dan Prof. Sudoyo. Anda berbuat telah banyak berpikir dan bertindak nyata demi kemajuan Indonesia. Indonesia pun masih terus mencari para cendekiawan baru seperti anda berdua.

 

Referensi:

  1. Kompas edisi Jumat, 28 Juni 2019, hal. 1
  2. Kabiru Isa Dandago, Time Management in The Life of Scholar, 2015,40.
  3. Heru Nugroho, “Negara, Universitas dan Banalitas Intelektual: Sebuah Refleksi Kritis dari Dalam”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada 2012, 6.