Selasa, 14 September 2021

Ilustrasi – www.adb.org/Foto: RRR/Isagani Serrano

SATUMERAHPUTIH.COM, JAKARTA – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo dalam forum group diskusi, Rabu 9/9 bertajuk ‘Booming dan Krisis Industri Asuransi Dalam Perspektif UUD 1945 dan Pancasila’, menyitir produk ‘Asuransi Usaha Tani Padi yang memberikan perlindungan risiko gagal panen. Produk asuransi ini telah bermula sejak tahun 2015 dengan premi RP 180 ribu dimana 80 persen premi tersebut disubsidi oleh Pemerintah. Asuransi Usaha Ternak Sapi yang memberikan perlindungan risiko atas kematian dan kehilangan sapi pun, telah diinisiasi sejak tahun 2016, dengan premi RP 200 ribu yang juga 80 persen komponen premi tersebut disubsidi oleh Pemerintah’.

Produk asuransi di atas erat berkaitan dengan situasi saat ini yang sedang dihadapi masyarakat global, climate change atau perubahan iklim.

Tiga minggu lalu, saya terlibat dalam sebuah pembicaraan via telephon dengan Head Innovative Risk Solutions Swiss Re, Andrew Martin tentang asuransi parametrik.

Diskusi ‘asuransi parametrik’ bagi kalangan praktisi asuransi Indonesia, terdengar seperti jargon yang membosankan. Masyarakat asuransi pun minim pemahaman atas produk asuransi ini. Topik ini ibarat ‘diskusi’ yang akan membuat lawan bicara memutuskan menutup mata lelap tertidur atau buru-buru menyudahi pembicaraan.

Sebaliknya, asuransi parametrik jauh lebih sederhana, sangat potensial, menarik, dan inovatif. Konsep dasar dari solusi parametrik cukup sederhana. Asuransi parametrik terjadi bila parameter peristiwa yang telah ditentukan sebelumnya terpenuhi atau terlampaui, diukur dengan parameter atau indeks objektif terkait eksposur tertentu yang diasuransikan.

Dalam prakteknya, kejadian ini bisa berupa gempa bumi, gelombang besar, siklon tropis atau banjir dimana parameter atau indeksnya masing-masing berupa magnitudo, tinggi gelombang, kecepatan angin atau curah hujan. Parameter pemicu bisa juga berupa indeks cuaca, hasil panen, pemadaman listrik, dan banyak lagi.

Kita paham cara kerja asuransi tradisional. Pikirkan tentang asuransi yang anda beli untuk rumah anda. Anda membeli polis dari perusahaan asuransi yang setuju untuk membayarkan jumlah yang telah disepakat diawal jika anda mengalami kerugian. Prinsip ini dikenal sebagai prinsip ganti rugi atau principle of indemnification Kerusakan benar-benar terjadi pada aset yang anda asuransikan dan umunya perusahaan asuransi akan mengirimkan petugas klaim dan/atau penilai kerugian kerugian untuk memeriksa dan memastikan kerusakan tersebut.

Saat ini, ada ribuan petani, nelayan, UKM dan lini usaha yang tidak dapat mengakses asuransi untuk melindungi diri dan asset atas peristiwa yang berpotensi menghancurkan seperti gempa bumi, pandemi, angin topan, kekeringan dan banjir. Asuransi tradisional umumnya memiliki keterbatasan memberikan perlindungan atas peristiwa alam seperti ini. Swiss Re, salah satu reinsurance global, memperkirakan ada gap perlindungan asuransi sekitar U$180 miliar atas berbagai risiko terkait peristiwa bencana alam.

Misalnya, sektor pertanian sangat rentan terhadap kekeringan dan banjir. Namun, terlalu sulit bagi perusahaan asuransi untuk secara akurat menghitung hasil panen baik sebelum maupun sesudah kerugian. Atau, bagian klaim dan/atau penilai kerugian secara akurat menghitung kerugian atas 100 HA areal sawah yang terendam banjir. Atas berbagai kendala seperti ini termasuk nilai kerugian yang sangat besar bila terjadi, yang membuat asuransi tradisional enggan menyediakan produk asuransi berbasis indeks dan yield.

Grafik ini menunjukkan perubahan suhu dari tahun 1850 hingga 2018, dibandingkan dengan suhu rata-rata 1961-1990. Sumber – http//metaoffice.gov.uk

Di sini, dibutuhkan peran teknologi modern dan resources pemerintah untuk mengatasi berbagai kendala tersebut. Badan pangan dunia FAO melaporkan, ‘80% gagal panen disebabkan oleh curah hujan yang berlebihan atau kekeringan yang berkepanjangan’. www.MetOffice.gov.uk  memperkirakan, prevalensi peristiwa cuaca buruk ini akan dua kali lipat pada tahun 2050 mendatang. Dalam tulisan bertajuk ‘effects of climate change on the planet’, www.MetOffice.gov.uk melaporkan, ‘suhu rata-rata global telah meningkat lebih dari 1°C sejak tahun 1850-an. Tahun 2015, 2016, 2017, 2018, 2019 dan 2020 adalah tahun terpanas yang pernah tercatat. Angka-angka ini menunjukkan kepada kita bahwa planet ini telah memanas sejak Revolusi Industri.

BMKG pada 28/08 mengeluarkan prakiraan bahwa 85 persen wilayah Indonesia, dari Aceh hingga ke sebagian Papua akan mengalami hari tanpa hujan panjang. Daerah seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Bali, NTB dan NTT bahkan diperkirakan akan mengalami hari tanpa hujan sangat panjang. Beberapa kawasan di NTT dan NTB bahkan diperkirakan mengalami lebih dari 125 hari tanpa hujan.

Peran asuransi, sangat dibutuhkan. Asuransi diharapkan mampu memudahkan nelayan, petani, peternak, pemilik perkebunan, UKM dan kalangan menengah bawah mendapatkan akses keamanan dan ketahanan finansial untuk mendukung ketahanan ekonomi nasional agar industri pertanian mampu memenuhi permintaan pasokan pangan yang terus meningkat saat ini.

Study Case Sederhana

Data BPS updates 10 April 2019, luas sawah di Jawa Barat berkisar 1.6 juta hektar dengan dengan produksi 56 kwintal per hektar dan rata-rata panen pertahun 9.2 juta ton. Ongkos produksi perhektas kurang lebih RP 13.5 juta untuk hasil panen kurang lebih RP 18.5 juta per hektar. 

Ilustrasi sederhana cara kerja Asuransi Parametik

Pengalaman petani Jawa Barat dan data BMKG mengatakan bahwa jika hujan turun lebih dari 200 mm/s pada saat musim tanam, sawah terendam banjir, dan ini terjadi dapat menyebabkan kerugian bisnis sebesar RP 18.5.

Bila Pemda Jawa Barat bersama kelompok petani dan asuransi bersepakat, 200mm sebagai ‘pemicu‘ dan/atau ‘trigger point’, dan RP 18.5 sebagai maksimum nilai perlindungan per hektar. Badan independent yang menjadi patokan resmi mengukur curah hujan misalnya BMKG.

Petani Jawa Barat di beberapa daerah misalnya, Karawang, Garut atau Cirebon yang pada tahun 2016 dan 2019, ketika mengalami curah hujan menurut BMKG melewati trigger point 200 mm/s maka akan mendapatkan penggantian RP 18.5 juta perhektar.

Penyelesaian klaim yang biasanya membutuhkan waktu lama kadang mencapai 1 sampai 3 tahun dengan sendirinya dapat dipersingkat. Tidak perlu mengirim tim survey dan/atau oenilai kerugian untuk menilai kerusakan. Biaya yang timbul seperti mengirim tim klaim, biaya penilai kerugian, litigasi hukum, dll. Semua biaya ini umumnya dibebankan kepada pembeli polis, dengan sendirinya dapat dihemat.

Pemda Jawa Barat bisa memilih jumlah nilai pertanggungan yang ingin mereka beli, dan tingkat pemicu. Misalnya, seorang petani jagung dengan ladang yang kering di daerah seperti NTB dan NTT mungkin tidak terlalu khawatir tentang hujan lebat musim tanam. Namun, mereka mungkin khawatir tentang kekeringan. Oleh karena itu mereka akan bijak memilih kekeringan yang dimulai ketika curah hujan turun di bawah tingkat tertentu sebagai ‘trigger point’. Perusahaan pengakutan publik seperti Trans Jakarta misalnya, akan memilih curah hujan di atas 250 mm/s sebagai ‘trigger point’ karena umumnya curah hujan di atas itu yang sering menimbulkan banjir di Jakarta.

***

Penulis: eL. krova

Sumber: https://corporatesolutions.swissre.com/innovative-risk-solutions/parametric-solutions.html

https://www.swissre.com/dam/jcr:b8cd5623-a6ea-4131-bfd1-2c0cd762b10f/parametric_solutions_david_mader.pdf