Minggu, 11 September 2021

Ilustrasi – Petani mengamankan hasil panenanya dari bencana banjir/Antara, Syaiful Arif

SATUMERAHPUTIH.COM, JAKARTA – World Bank pada Januari 22, 2021 lalu telah menyetujui pendanaan sebesar USD 500 juta bagi Indonesia. Tujuan pendanaan ini untuk membantu Indonesia menghadapi berbagai risiko bencana alam, climate change dan virus penyakit pandemik. Dana tersebut akan dimanfaatkan dengan membentuk konsorsium melibatkan instrumen asuransi dan reasuransi lokal dengan dukungan reasuransi internasional, demikian berita ini kami lansir dari www.artemis.bm

World Bank, sejak beberapa tahun belakangan ini Masyarakat Tangguh Bencana, Amanah Industri Asuransi terlibat dalam proyek pendanaan bencana alam dan climate change di Indonesia.

International Finance Corporation, anak perusahaan World Bank menjalin kerja sama dengan Reasuransi MAIPARK Indonesia untuk mengembangkan proyek asuransi parametrik atas produk agro bisnis atas ancaman climate change dan bencana alam, demikian tulis www.artemis.bm, April 28, 2017. “Ini merupakan program nasional demi mewujudkan ketahanan pangan dan meningkatkan produktivitas masyarakat sehingga perlu didukung oleh semua pihak. Industri asuransi diharapkan mendukung program tersebut dengan memberikan perlindungan terhadap risiko yang dihadapi oleh pemangku kepentingan pertanian. Kerja sama dengan IFC ini memungkinkan kami melakukan inovasi asuransi parametrik khusus untuk produk pertanian, peternakan dan perkebunan,” kata Yasril Y. Rasyid, Presiden Direktur MAIPARK saat itu.

World Bank pada Januari 2018, merelease sebuah penelitian berjudul “Developing Parametric Insurance for Weather Related Risks for Indonesia”. Penelitian ini diawali dengan didiskusikan dan workshop yang melibatkan Kementerian Pertanian, Badan Meteorolgi, Klimatologi dan Geofisika, Otoritas Jasa Keuangan, Kementerian Keuangan dan beberapa perusahaan asuransi terkemuka di Indonesia yang selenggarakan Semarang dan Jakarta pada Juli 2017.

Asuransi pertanian merupakan amanat dari UU No. 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Pasal 37 ayat (1) “Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban melindungi usaha tani yang dilakukan oleh petani dalam bentuk asuransi pertanian”. Ayat (2) “Asuransi Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk melindungi Petani dari kerugian gagal panen akibat: a. bencana alam; b. serangan organisme pengganggu tumbuhan; c. wabah penyakit hewan menular; d. dampak perubahan iklim; dan/atau e. jenis risiko-risiko lain diatur dengan Peraturan Menteri”.

Indonesia, negara dengan populasi terbesar ke-4 di dunia, juga merupakan produsen pertanian terbesar ke-10. Dalam skala global, Indonesia adalah produsen minyak sawit terbesar, produsen karet alam dan kakao terbesar ke-2 dan produsen sekaligus konsumen beras terbesar ke-3 setelah Cina dan India.

Pertanian adalah salah satu sektor utama pembangunan ekonomi nasional melalui kontribusi pangan, bahan baku industri dan pakan ternak, penciptaan Produk Domestik Bruto, penerimaan devisa, penyerapan tenaga kerja dan pendapatan rumah tangga pedesaan. Rata-rata berkontribusi kontribusi sektor pertanian 13,5% terhadap PDB dan menyerap 34% dari angkatan kerja Indonesia. Nilai ekspor pertanian berkisar 20% dari total ekspor nasional yang didominasi oleh kelapa sawit dan karet, yang menyumbang 60% dari total ekspor agro-pangan.

Padi merupakan tanaman pangan utama dengan kontribusi 19% dari total nilai produksi agro-pangan nasional. Indonesia pernah swasembada beras, namun belakangan ini mengimpor rata-rata 3 juta ton per tahun karena alasan mempertahankan stok pangan nasional.

BMKG pada Agustus 28, 2021 mengeluarkan prakiraan bahwa 85 persen wilayah Indonesia, dari Aceh hingga ke sebagian Papua akan mengalami hari tanpa hujan panjang. Daerah seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Bali, NTB dan NTT bahkan diperkirakan akan mengalami hari tanpa hujan sangat panjang. Beberapa kawasan di NTT dan NTB bahkan diperkirakan mengalami lebih dari 125 hari tanpa hujan.

Kemampuan Pemerintah dalam menyediakan pembiayaan untuk bencana dengan dampak yang besar cenderung terbatas pada saat terjadi bencana. Setiap tahunnya Pemerintah rata-rata menyediakan dana cadangan bencana sebesar RP 3,10 triliun. Sementara kerugian akibat bencana alam besar, seperti gempa dan tsunami Aceh di tahun 2004 mencapai RP 51,40 triliun. Sementara, gempa bumi di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2006 menimbulkan kerugian ekonomi senilai RP 26,10 triliun. Kerugian seperti ini membutuhkan waktu lebih dari 5 tahun untuk pemulihan seperti kondisi sebelum bencana. Kesenjangan pembiayaan tersebut yang menyebabkan Indonesia terpapar risiko fiskal yang tinggi akibat bencana alam. Oleh karena itu, alternatif pembiayaan dengan melibatkan sumber pembiayaan di luar APBN, diantaranya asuransi, diperlukan agar Indonesia dapat memiliki ketahanan atas bencana

Beberapa pilot project Pemerintah Pusat untuk transfer risiko berwujud subsidi premi asuransi untuk perlindungan masyarakat, rumah tangga dan usaha kecil pada Asuransi Usaha Tani Padi, Asuransi Usaha Ternak Sapi, Asuransi Nelayan Tangkap, dan Asuransi Budidaya Ikan Kecil.

Namun, skema-skema pembiayaan tersebut belum dikemas dalam kerangka pembiayaan risiko terhadap bencana. Program subsidi premi asuransi sebesar 80 persen untuk petani padi dengan lahan kurang dari 2 hektar, digunakan untuk perlindungan lahan pertanian terhadap risiko gagal panen yang disebabkan oleh serangan hama, bencana alam dan dampak perubahan iklim. Sementara itu, Asuransi Nelayan Tangkap didesain sebagai skema perlindungan nelayan terhadap kecelakaan kerja.

Status program-program tersebut masih dalam tahap uji coba (pilot project) dengan cakupan yang masih terbatas dan bersifat eksklusif. Hal ini terlihat dari kecilnya proporsi jumlah petani yang mendapat manfaat AUTP, dimana pada tahun 2017 baru 1,5 juta orang petani peserta program Pemerintah yang terlindungi, atau sekitar 3,5% dari rumah tangga petani yang mencapai sekitar 43 juta. Kondisi yang sama juga terjadi pada peternak yang mengikuti program AUTS berjumlah sekitar 58 ribu orang dengan jumlah sapi sekitar 91.800 ekor.

India telah mengembangkan asuransi pertanian berbasis parametrik sejak tahun 1972, disusul tahun 1979 mulai dengan memberikan subsidi premi atas asuransi gagal panen. Skema asuransi gagal panen secara komprehensif mulai diterapkan secara luas di India sejak tahun 1985. China mulai menerapkan asuransi pertanian berbasis parametrik sejak tahun 1982 melalui asuransi ternak dan asuransi gagal panen. Sedangkan Vietnam menerapkan asuransi pertanian sejak tahun 1982.

Musim hujan sudah di depan mata. Indonesia diperkirakan akan mengalami cuaca ekstrem seperti hujan badai, banjir dan kekeringan berkepanjangan yang lebih intens yang diperburuk oleh climate change. Belum lagi guncangan gempa dan letusan gunung berapi yang sampai saat ini masih mengancam.

Pendekatan pembiayaan bencana alam yang selama ini dilakukan oleh Pemerintah cenderung reaktif dengan yang difokuskan pada fase setelah terjadi bencana. Pembiayaan reaktif pada periode tanggap darurat seperti, dapur umum, tenda darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi hanya upaya sementara.

Petani butuh akses modal untuk menanam kembali lahan sawah dan ladang. Pasar dan kios butuh dibangun kembali untuk memulihkan padagang dan penjual pada kondisi finansial seperti sebelumnya. Nelayan butuh modal untuk kembali melaut setelah dua minggu tidak melaut akibat gelombang tinggi. Semua ini kategori ex-ante, pendanaan yang dipersiapkan sebelum bencana terjadi.  

Regulasi yang mengatur pembiayaan sebelum bencana belum dirumuskan dengan komprehensif. Regulasi yang mengatur detil pembiayaan atas barang atau jasa yang tidak berwujud seperti pembelian premi asuransi atas bencana belum ada, sehingga Pemerintah sampai saat ini tidak melakukan belanja dalam rangka transfer risiko terhadap bencana. Di masa lalu, pembelian premi tersebut dapat dianggap sebagai kerugian negara apabila tidak terjadi pembayaran klaim.

Perbedaan karakteristik pendekatan APBN dengan kebutuhan pembiayaan bencana alam membuka peluang bagi upaya perbaikan tata kelola pembiayaan risiko bencana di masa mendatang. Dalam rangka penurunan risiko bencana dan kesiapsiagaan, pembiayaan risiko bencana dapat dilakukan secara terencana baik untuk memindahkan atau transfer risiko maupun menanggung atau retain risiko. Selanjutnya, rigiditas dalam proses anggaran dapat digunakan dalam membantu disiplin perencanaan dan pelaksanaan pembiayaan bencana. Tersedianya informasi bencana dapat membantu pemerintah dalam merencanakan pembiayaan bencana yang lebih sesuai, tepat waktu, dan tepat sasaran.

Keterbatasan APBN dalam pembiayaan bencana memunculkan peluang bagi Pemerintah, untuk membangun strategi pembiayaan yang menghasilkan manfaat bersama atau co-benefit bagi Pemerintah Pusat, Pemda, Masyarakat dan Sektor Swasta. Pelaksanaan strategi dengan pendekatan menyeluruh akan membantu pencapaian beberapa tujuan pembangunan sekaligus, seperti terwujudnya masyarakat tangguh bencana dengan tujuan pembangunan nasional, ketahanan fiskal, perlindungan sosial dan adaptasi perubahan iklim.

***

Penulis: eL. krova

Sumber Referensi: