Dua siswi Sekolah Menengah Atas (SMA) di kota Kupang tampak berjalan menuju sekolah pagi-pagi buta sebagai dampak dari penerapan jam masuk sekolah pukul 05.30 oleh Gubernur NTT, Viktor Laiskodat/ Foto: Antara/Kornelis Kaha

KONTROVERSI atas penerapan waktu masuk sekolah pada pukul 05.30 WITA oleh Gubernur Nusa Tenggara Timur, Viktor Laiskodat, masih terus berlangsung. Salah satu pihak yang paling keberatan atas usulan itu adalah para orang tua siswa. Para orang tua siswa khawatir melepas anak-anak mereka untuk berangkat sekolah saat hari masih gelap gulita. Ini cukup beralasan

Keselamatan anak-anak sekolah menjadi prioritas utama para orang tua siswa. Ketika siswa-siswa berangkat ke sekolah dalam keadaan gelap gulita, siapa yang dapat menjamin keselamatan mereka? Selain itu, (dan ini tak kalah penting) adalah dasar hukum yang dapat untuk penerapan kebijakan sekolah gelap gulita itu. Ketika terjadi hal-hal yang merugikan peserta didik, bagaimana dengan kepastian hukumnya. Maka, ketika Gubernur Viktor ditanyai oleh wartawan soal dasar hukum penerapan kebijakan tersebut, seharusnya ia bisa memberikan jawaban secara tegas, bukan asal jawab saja.

Publik tentu paham benar dengan maksud baik Gubernur Viktor di balik penerapan kebijakan sekolah gelap gulita itu. Dengan memperhatikan konteks sosial Nusa Tenggara Timur yang dirasa masih tertinggal jauh dalam berbagai aspek kehidupan, maka perlu ada alternatif baru yang mesti ditempuh melalui pendidikan. Jalan-jalan alternatif itu terkadang tidak selalu populis. Apalagi ketika jalan alternatif yang ditawarkan itu menerabas sistem hukum serta praktik yang berlaku secara umum.

Mungkin saja, Gubernur Viktor ingin mengikuti jejak Paulo Freire, seorang tokoh pendidikan yang terkenal karena kontroversinya. Freire dikenal karena ia menggugat sistem pendidikan yang telah mapan dalam masyarakat Brasil. Menurut Freire, sistem pendidikan yang ada di Brasil kala itu sama sekali tidak berpihak pada rakyat miskin tetapi sebaliknya justru mengasingkan dan menjadi alat penindasan oleh penguasa.

Bila dicermati lebih dalam lagi, jalan alternatif “Sekolah Gelap Gulita”, itu tentu lahir dari suatu pergumulan terhadap konteks riil NTT setelah hampir 5 (lima) tahun Viktor Laiskodat menahkodai NTT. Sama seperti Ketika Freire menawarkan jalan alternatif untuk sistem pendidikan di Brasil yang lebih berpihak pada rakyat miskin bukan kepada penguasa. Kondisi kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat di desa-desa di Brasil akibat feodalisme dalam sistem pendidikan Brasil merupakan suatu realitas nyata ketika itu. Bertahun-tahun Freire mempelajari dan menemukan betapa bobroknya sistem pendidikan yang dikuasai oleh kaum feodal Brasil.

Perjalanan sistem pendidikan di Indonesia juga tak lepas dari masa gelapnya. Pada zaman kolonial, sistem pendidikan Indonesia dimulai dengan hadirnya Sekolah Rakyat yang hanya untuk masyarakat Indonesia dengan kualifikasi khusus, yakni mereka memiliki kedudukan sosial. Setelah merdeka, sistem pendidikan Indonesia menganut semangat inklusif. Negara menjamin semua warganya berhak mendapatkan pendidikan yang setara. Corak sistem pendidikan pada masa pemerintahan Soekarno-Hatta memang bersifat sekuler, terutama karena kondisi sosial kemasyarakatan Indonesia yang serba heterogen. Di era Orde Baru ketika Soeharto berkuasa, sistem pendidikan di Indonesia lebih fokus pada pembangunan karakter murid dengan kewajiban penataran P4 bagi peserta didik, normalisasi kehidupan kampus, bina siswa melalui OSIS, ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan atau EYD, kuliah kerja nyata (KKN) bagi mahasiswa hingga upaya merintis sekolah pembangunan. 

Di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, sistem pendidikan Indonesia lebih mengedepankan nilai ketuhanan, karakter, dan inovatif untuk mendukung kemajuan teknologi saat ini. Implementasinya bisa dilihat melalui penerapan kurikulum merdeka dengan tujuan untuk mengasah minat dan bakat anak sejak dini serta fokus pada materi esensial, pengembangan karakter, dan kompetensi peserta didik.

Maka dalam konteks mengejar keterbelakangan NTT, sangatlah tepat jika Gubernur Viktor selaku nahkoda utama NTT saat ini terus mengawal penerapan kurikulum merdeka di semua jenjang pendidikan yang ada. Kurikulum ini diyakini bisa menjadi perangkat yang tepat untuk membentuk karakter manusia-manusia muda di NTT yang mampu bersaing di tengah pesatnya kemajuan teknologi. Daripada terus menerus menciptakan kontroversi yang berdampak pada ketidakpastian di tengah masyarakat, Gubernur Viktor sebaiknya lebih fokus mengejar pencapaian-pencapaian sebagaimana yang diharapkan melalui penerapan kurikulum merdeka. Meski sekolah gelap gulita dipandang sebagai jalan alternatif, penerapannya secara berkelanjutan pun masih menemui jalan terjal. Apalagi ketika praktik kebijakan tersebut hanya menciptakan suasana di mana sekolah bukan lagi menjadi tempat yang ramah bagi para siswa dan siswi.***

Penulis: John Laba Wujon, tinggal di Jakarta