“Hanya ada satu tanah yang menjadi tanah airku, dia tumbuh dengan perbuatan dan perbuatan itu adalah perbuatanku.”  Bung Hatta (1902-1980),– mengutip aktivis politik Belanda Rene de Clercq (1877-1932) dalam persidangannya di Den Haag.

Sejarah adalah manifestasi yang khas manusiawi; pengenalan sejarah merupakan kenyataan manusiawi yang dapat kita telusuri sejak perkembangan kemanusiaan yang paling dini, sejauh masa itu meninggalkan jejak-jejak melalui perwujudan tertentu. Dari goresan yang berupa lukisan atau tulisan  sampai dengan jejak yang berupa monumen, manusia sepertinya ingin menandai kehadirannya dalam sesuatu masa dan rekaman yang ditinggalkannya itu diharapkan dapat menjadi petunjuk tentang kehadirannya itu.

Peneliti dan penulis sejarah terbuka buat siapa saja, sebab lapangan sejarah terbuka bagi yang tertarik dengan masalah historis, dengan syarat penulisan dilakukan dengan serius dan jujur. Penulis sejarah harus bertaut dengan kenyataan-kenyataan masa lalu dan untuk itu dia harus dijembatani oleh rekaman jejak-jejak masa lalu, apapun bentuk jejak-jejak itu. Ia meneropong masa lalu dengan realitas yang masih tersisa di masa kini. Realitas yang ditemui penulis sejarah adalah sekeping kenyataan yang bisu belaka; sejauh mana kenyataan itu bisa diterobos kebisuannya, lalu selanjutnya berperan memberikan kesaksian pada sesuatu fragmen sejarah sangat tergantung dari kemahiran sang penulis sejarah untuk menemuinya sebagai representasi masa yang sudah silam. Seorang penulis sejarah diharuskan mampu menyajikan kembali masa lalu secara objektif.

Sejarah adalah sumber orientasi (masa lalu) yang dikenali kembali dari suatu pusat orientasi lain (masa kini). Upaya pengenalan itu nampaknya didorong oleh keinginan kita untuk menemukan sambungan antara masa lalu dan masa kini. Pengenalan sejarah membantu kita menemukan sambungan antara masa lalu dan masa kini, ia juga berfungsi merentangkan kesinambungan antara dua kutub yakni kutub kenyataan yang sudah silam dan sirna dengan kutub  masa kini. Penulisan buku  Herman Yoseph Fernandez-Kusuma Bangsa Pembela Tanah Air Layak Jadi Pahlawan Nasional (Penulis Thomas B. Ataladjar – Penerbit Ikan Paus, 2024) adalah juga sebuah upaya untuk merentangkan kesinambungan antara  masa lampau dan masa  kini. Buku tentang kisah perjuangan Herman Fernandez ini berguna untuk dibaca oleh siapa saja yang mau percaya, bahwa masa kini adalah sambungan dari peristiwa sejarah di masa lalu dan kandungan peristiwa sejarah yang akan datang.

Terdapat suasana, iklim dan corak serta sikap yang lain dari yang lain dalam hidup manusia dan masyarakat dalam tahun 1945 dan sesudahnya. Suasana atau iklim tadi berhubungan dengan perasaan umum bahwa hal-hal yang lama telah, sedang atau ditinggalkan secara radikal dan bahwa sesuatu yang baru, yang lebih baik daripada yang pernah ada sedang atau akan dibangun. Revolusi selalu mencakup sikap yang secara keras menolak yang lama dan menantikan masa baru dengan pengharapan yang meluap-luap. Impian untuk membangun yang belum pernah ada merupakan unsur penting dalam suasana revolusi. Oleh sebab itu suatu revolusi yang berhasil merupakan kurun waktu di mana dilahirkan dasar-dasar dan cita-cita yang oleh suatu bangsa dianggap bersifat sangat pokok, bahkan sering dianggap bersifat tetap dan abadi, dalam perjalanan bangsa itu selanjutnya.

Suatu revolusi tidak terjadi begitu saja, seolah-olah dia jatuh dari atas. Dalam suatu revolusi maka kekuatan-kekuatan dan cita-cita yang telah lama tertekan dan bertimbun-timbun muncul ke permukaan, sering dengan disertai oleh kemarahan dan kadang-kadang keganasan. Revolusi ’45 digerakkan oleh kekuatan-kekuatan dan cita-cita yang telah berkembang selama pergerakan kebangsaan sejak permulaan abad ke-20, yang telah memperoleh sifat-sifat yang lebih militan selama tahun-tahun pendudukan Jepang. Pergerakan kebangsaan itu adalah kelanjutan dari perlawanan-perlawanan yang sebelumnya di jalankan secara sedaerah-sedaerah terhadap Belanda. Perlawanan-perlawanan itu dilakukan oleh pahlawan-pahlawan kita baik yang tercatat maupun yang tidak tercatat nama-nama mereka dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, telah dapat dipatahkan oleh Belanda selama mereka berjuang secara terpisah-pisah dan dengan cara-cara pra-modern. Mereka baru berhasil mengakhiri penjajahan Belanda waktu mereka menghadapinya sebagai bangsa yang bersatu dan dengan cara-cara yang cukup modern. Perjuangan ini telah mencapai puncaknya dalam Revolusi ’45. Dengan demikian jelas bahwa Revolusi ’45 itu adalah reaksi dan penolakan terhadap penjajahan Belanda dan juga terhadap pendudukan Jepang. ( Lihat T. B. Simatupang, “Pentingnya Revolusi ’45 bagi Kita Dewasa Ini”, dalam Majalah Prisma No.7 tahun 1976).

Dengan semangat dan spirit revolusi ’45 Herman Fernandez dan kawan-kawannya ikut bertempur dalam peristiwa pertempuran hidup mati di Palagan Sidobunder. Apa yang mendorong Herman Fernandez dan kawan-kawannya sehingga mereka dengan berani mengambil keputusan berjuang hidup mati untung kemerdekaan bangsanya? Untuk menjawab pertanyaan ini kita dapat merujuk pada pemikiran seorang nasionalis Jerman, Johan Gottfried Herder (1744-1803). Menurut Herder, identitas nasional suatu bangsa berkaitan erat dengan bahasa dan kebudayaannya. Karena dalam kedua hal ini sebuah bangsa dibentuk. Kebudayaan menjadi nyata dalam bentuk praktik hidup sehari-hari, kebiasaan, cerita-cerita rakyat, kepercayaan dan mitologi asli juga bahasa untuk saling berkomunikasi memungkinkan para warga bangsa mengidentifikasi. Dalam jaring ini para warga bangsa menginterpretasi diri dan membentuk identitas bersama sebagai suatu bangsa. Saya mempunyai identitas yang sama dengan rekan-rekan sebangsa karena saya menafsirkan diri dengan mereka dan lingkungan sosial yang ada, yang tersedia berupa bahasa dan kebudayaan. Herder juga berpendapat bahwa identitas nasioanal memiliki kekuatan yang terletak pada kekayaan sumber kebudayaan yang dipakai untuk membangun konsepsi tentang komunitas nasional. Adanya landscapae atau tanah air, sejarah dan hak-hak istimewa sebagai anak bangsa memungkinkan kita menyadari identitas kita. Kita adalah sama karena memiliki tanah air yang sama, sejarah yang satu dan hak-hak yang sama. Kesadaran akan kebersamaan identitas sebagai sebuah bangsa inilah yang yang pertama-tama menuntut dan menggerakan orang untuk memperjuangkan sesuatu, misalnya kemerdekaan dan kedaulatan serta kebebasan dari intervensi.

Nasionalisme sebagai sebuah aliran pemikiran dan kesadaran diri yang telah memainkan peranaan signifikan selama beberapa ratus tahun lampau, sudah barang tentu mempunyai momen kemunculannya. Menurut Benedict Anderson dalam karyanya Imagined Communities: Reflection on the Origin and the Spread of Nationalism (Verso:1998), bangsa adalah komunitas politis terbayang. Bagi Anderson bangsa merupakan komunitas karena bangsa merupakan sebuah kesetikawanan yang masuk mendalam dan melebar mendatar. Artinya sebagai komunitas, bangsa diyakini sebagai wadah di mana orang mendapatkan rasa persaudaraan, rasa senasib dan sepenanggungan sesungguhnya.

Disebut juga sebagai komunitas terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekalipun tak akan tahu dan dikenal sebahagian besar anggota yang lain atau tak bakal menjalin kontak muka dengan muka. Padahal mereka sama-sama membayangkan bahwa mereka adalah satu kesatuan dalam kebersamaan, mereka ada dalam satu komunitas.

Bangsa juga disebut sebagai komunitas politis karena bangsa lahir pada era di mana Pencerahan dan Revolusi menghancurkan kekuasaan absolut. Dari sini orang lalu mengusahakan kebebasan dan kedaulatan. Bangsa lalu menjadi kekutan politis karena selalu mengusakan kedaulatan secara politis, yang tentu akan diakui secara politis oleh pihak lain.

Herman Fernandez dan kawan-kawannya ketika ikut dalam pertempuran hidup mati Sidobunder, tentu membayangkan bahwa negeri mereka suatu saat akan memperoleh kemerdekaan. Karena kesamaan cita-cita ingin lepas dari cengkraman kolonialisme,  maka tumbuh dalam diri mereka rasa kesamaan nasib, kesetiakawanan dan persaudaraan yang menjadi modal bagi mereka untuk melakukan perlawanan terhadap tentara Belanda dan Jepang, yang di mata Herman Fernandez dan kawan-kawannya telah merendahkan kedaulatan negeri mereka.

Bila kita renungkan sejenak motivasi apa yang mendorong pemuda dan rakyat kita ikut berjuang untuk kemerdekaan bangsa Indonesia, maka motivasi pokoknya adalah keinginan dan tekad untuk hidup bebas dan merdeka terutama dari segala kepalsuan dan kebohongan dengan jalan merebut kekuasaan untuk memegang nasib bangsa dan tanah air di tangan sendiri. Hal ini jelas dicerminkan oleh Bung Karno dalam pidato pengantarnya pada hari Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945, sebelum membacakan naskah Proklamasi itu sendiri. Berkatalah Bung Karno:

“Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah berates-ratus tahun. Gelombangnya aksi kita untuk mencapai kemerdekaan itu ada naik dan ada turunnya, tetapi jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita. Juga di dalam zaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak henti-henti. Di dalam zaman Jepang ini, tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka. Tetapi pada hakekatnya, tetap kita menyusun tenaga kita sendiri tetpa kita percaya kepada kekuatan sendiri. Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah-air kita di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya” (Lihat Ir. Sukarno, Di bawah Bendera Revolusi, Jilid II, tahun 1964, hal 3-4).

Dari pidato Bung Karno di atas jelas bahwa motivasi pokok para pejuang kemerdekan adalah kemerderkaan dan kebebasan melawan segala kepalsuan dan kebohongan sistem militerisme yang bercokol; disertai dengan cinta kepada tanah air dan bangsa. Dengan perkataan lain nilai-nilai yang tersimpan di  dalamnya adalah jelas bersumber kepada patriotisme dan nasionalisme, dipertinggi dengan keberanian untuk merebut kekuasaan dari tangan Jepang.

Dengan sejarah kita belajar bahwa bahwa masa kini adalah sambungan dari peristiwa sejarah di masa lalu dan kandungan peristiwa sejarah yang akan datang. Sejarah juga membuat kita sungguh-sungguh menikmati peristiwa-peristiwa aktual dari prespektif sejarah, sehingga memampukan kita untuk percaya bahwa dari sejarah kita sungguh bisa belajar untuk memetik manfaat bagi hidup kita.

Dalam himpitan arus globalisasi dimana rasa kebangsaan  dan nasionalisme dianggap tak punya arti dan peran yang signifikan, tak patut diperbincangkan atau tak dibenarkan menuntut pengorbanan diri para warganya,  apakah bangsa dan nasionalisme masih mempunyai masa depan? Bangsa dan nasionalisme terlahir melalui suatu proses yang melibatkan sejumlah pelaku dan sumber daya yang ada. Proses itu terjadi dalam kerangka kehidupan sosial, ekonomi dan budaya. Bangsa ada dalam kerangka proses yang pernah ada, dan masih terus berada, berkat adanya kehendak, kesadaran para pendukung yang merasa bahwa mereka ada dalam kesamaan asal, mereka punya tanah yang satu dan sama, mereka punya kisah dan cerita yang membanggakan sekaligus memprihatinkan lebih-lebih mereka punya bahasa dan sistem simbol untuk saling membahasakan diri. Bangsa tercipta oleh mereka, individu-individu yang menyadari kebersamaan.

Negara bangsa dan nasionalisme masih akan terus hidup dan relevan untuk diterapkan dalam kehidupan sosial dan politik modern. Negara bangsa dan nasionalisme masih mempunyai peran sebagai wadah dan bentuk kehidupan sosial politik bersama. Negara bangsa dan nasionalisme di masa depan masih sangat dibutuhkan untuk menahan terpaan homogenisasi yang dibawah oleh globalisasi dan juga merupakan bentuk dan rasa kebersamaan yang masih dapat menggerakan orang untuk membangun hidupnya dan hidup sesamanya.

Denny JA, pendiri Lembaga Survei Indonesia dan juga seorang penulis puisi, meyakini bahwa negara bangsa dan nasionalisme akan tetap hidup di jaman getar algoritma dan sinyal digital ini. Kita dengarkan puisinya.

Oleh Denny JA

Di tahun 2023, sambil memainkan aplikasi kecerdasan buatan,
anak muda itu merenungkan nasionalisme.

Di balik layar ponselnya, ia bertanya:
Apakah arti tanah air, di zaman tanpa batas ini?
Negara adalah peta yang kabur di ujung jari,
batas-batasnya larut dalam pixel dan kode.
Tapi, di antara getar algoritma dan sinyal digital,
datang bisikan dari jauh, dari tahun 1928.

Sejarah bersimpuh di hadapannya.
Di langit, nampak leluhur menggali akar,
menyatukan suku, bahasa dan agama.

Dari Sumatra hingga Papua, sumpah pun diikrarkan.
Satu bahasa, satu tanah air, satu bangsa: Indonesia.

Mereka memahat impian dari luka dan air mata,
menjahit setiap perbedaan dalam simpul kuat.

Mantra itu menjadi akar yang menembus dalam,
meneguhkan tanah air yang belum bernama,
namun menyala dalam jiwa.

Ia, Darta, hidup di era digital yang tanpa batas.
Ia melihat dunia berbaur menjadi satu,
di antara pixel, kode, dan bising algoritma.

Dalam riuh suara global yang tumpang tindih,
tanah airnya bagai nada dasar yang terus bergema,
nada yang tak terhapus.

Darta juga terheran:
“Di jantung algoritma yang tanpa rimba,
mengapa cintaku pada tanah air tetap berakar,
seperti embun pada daun yang enggan jatuh,
meski musim berganti dan waktu tak mengijinkannya.”
Dunia digital mencairkan batas negara,
tapi tanah air bukan sekadar garis di peta;
ia ikatan yang merasuk jiwa,
melekat erat di setiap rasa.

Bahasa digital meleburkan segala suara,
tapi bahasa nasional bukan sekadar kata;
ia gema dalam dada,
jejak identitas yang kita bawa.

Di hatinya, tumbuh warna tanah yang tak tergantikan,
identitasnya berpadu dalam cinta yang tak kasat mata,
menjadi akar yang tak tampak namun kuat.
Sekarang, ia bicara dengan bahasa algoritma,
namun hatinya tetap bernada Indonesia.

Informasi memang tak mengenal batas.
Sinyal mengaburkan jarak.
Tapi cinta tanah air tetap tumbuh dalam senyap.
Sejarah memberinya memori.
Negara memberinya identitas.
Tanah air memberi rumah untuk pulang.

—————–