Oleh Agus Widjajanto
Dalam kisah Epos Perang Bharata Yuda antara Astina dan Kurawa, dimana Astina dengan Pandawa Limanya, melakukan peperangan terahir di Padang Kurusetra, yang dalam kisah Epos Mahabaratha digambarkan sebagai sebuah padang yang sangat luas, sebagai penentu jalannya peperangan, antara Astina yang digambarkan sebagai pihak yang menjunjung kebenaran dengan Kurawa yang digambarkan sebagai pihak yang berlaku kejahatan dan keangkara murkaan. Epos ini ditulis sedemikian hebatnya yang merupakan penuntunan bagi umat manusia disegala jaman dan waktu, bahwa selalu akan terjadi pertarungan antara yang baik dengan yang batil dan jahat, disetiap dimensi kehidupan. Bahwa peperangan paling dahsyat selalu terjadi pada diri kita, pada rohani kita yang terkurung pada jasad badan kasar yang bersifat kedagingan, terjadi tarik menarik antara amarah hawa nafsu dengan energi ruh kebaikan antara warna hijau dan biru dengan warna merah, antara hitam dengan putih, antara kesadaran dengan ketidak sadaran, antara ambisi dengan berjalan sesuai arah angin dan mengalirnya aliran sungai, sesuai hukum alam dalam sebuah kodrat dan akan selalu begitu disetiap jaman.
Dalam sesi puncak peperangan di Padang Kurusetra, sang Maha Raja Krisna bersenjata Trisula Weda, menjadi kusir kereta kencana yang dinaiki Arjuna, sebagai lambang bahwa sang Maha Raja sebagai pengendali, sebagai pemimpin, sebagai Panetep Panoto Agomo (Sultan sang Raja dari pimpinan agama diselutuh negeri) menghantarkan para kesatria negara untuk membela kebenaran dan hak melawan ketidak adilan yang bersifat batil pada semua lini kehidupan dan pada setiap jaman dan masa dimana manusia masih ada di muka bumi.
Di dalam Kitab Bhagavad Gita ditulis Krisna dan Arjuna berbincang tentang hakekat realitas dan cara mengakses keselamatan dan kesatuan dengan Ilahi (Tuhan Yang Esa) atau Brahma dalam agama Hindu. Dalam percakapan tersebut sang Maha Raja Krisna menjelaskan kepada Arjuna bahwa keselamatan dapat diperoleh melalui pengetahuan rohani dan tindakan nyata dalam kehidupan atau Amaliah dalam Islam. Bahwa dogma syariat adalah petunjuk, seremonial ibadah adalah tata cara bagaimana dalam mencapai yoga (ketenangan) dan Mu’ Amalah atau laku kita dalam hidup didalam keluarga dan masyarakat, adalah puncak dari ibadah yang merupakan realitas dalam kehidupan mengapa kita dilahirkan di dunia dan untuk apa setelah lahir dan hidup di dunia, setelah itu kita kemana dan bagaimana jalannya, itu adalah sebuah proses perjalanan spiritualisme dalam mencapai dharma dalam hidup. Ukuran dari pada semua itu adalah bagaimana diri kita bisa memperlakukan sesama dan alam semesta ini secara manusiawi, dengan cinta kasih dan sayang yang telah terpatri pada diri kita dan setiap orang-orang yang beriman. Itu sesungguhnya dialog di padang Kurusetra antara Krisna dan Arjuna yang membabat ilmu hakekat untuk mencapai jalan tertinggi dalam kerohanian.
Petunjuk dalam Bhagavad Gita dirancang untuk membangkitkan kesadaran murni pada diri manusia, oleh sebab itu pada bagian akhir dari dialognya Krisna bertanya pada Arjuna apakah sekarang Arjuna telah dalam kesadaran murni? Kesadaran murni yang dimaksud disini adalah berada dalam kondisi keadaan bermeditasi untuk mencapai ketenangan jiwa, mengendalikan pikiran dan tubuh. Yang dalam tasawuf Jawa disebut suwung atau kosong mengalami kekosongan, tiada diri lagi yang ada adalah Brahma yang bersemayam ditubuh adalah bukan dia, yang menggerakkan adalah bukan dia, tapi seluruh gerakan alam ini digerakan oleh Yang Kuasa.
Untuk itu Kresna menegaskan bahwa Dharma atau pengabdian dalam kebenaran (Tan Hana Dharma Mangrwa) harus menjadi prinsip penuntun dalam membuat keputusan, menyangkut masalah Arjuna yang bertekad tidak mau menyakiti orang-orang yang dicintainya, Krisna sebagai Maha Raja, berujar dan mengingatkan bahwa sebagai prajurit adalah sudah menjadi kewajibanya untuk memastikan dan menjunjung keadilan dan melindungi sesama yang teraniaya oleh rasa keadilan itu sendiri agar kebaikan selalu bersemayam pada setiap insan dan harus dijaga.
Bahwa dalam Bhagavad Gita atau disebut sebagai Weda Kelima yang berarti nyanyian suci merupakan sebuah kitab yang memiliki kedudukan penting dalam tradisi Hindu. Dimana ajaran universal dalam kitab Bhagavad Gita diperuntukan untuk seluruh umat manusia sepanjang masa. Bukan saja pada umat tertentu akan tetapi untuk semua manusia, yang ditulis dalam epos Mahabharata.
Pelajaran yang kita dapatkan dari ini semua adalah, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dimana pada jaman Reformasi ini, ketidakadilan, keangkara murkaan, menuhankan agama, menuhankan harta benda kekayaan dan tahta telah bersifat masif dan terstruktur, dimana korupsi merajalela sudah menjadi budaya, penegakan hukum yang rusak dimana hukum dijadikan lahan bisnis oleh para penegak hukum, yang kerap terjadi hukum dibelokan, argumen hukum dipelintir seolah kejahatan ketidak benaran di justifikasi menjadi kebenaran dalam hukum, yang merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Itu sebenarnya pesan dari pada tafsir Bhagavad Gita, dalam peperangan dipadang Kurusetra dalam epos Mahabharata. Dan peperangan tersebut akan selalu ada, akan selalu terjadi antara keadilan melawan kejahatan, disepanjang jaman dan masa sepanjang manusia masih ada dan hidup di muka bumi.
Bahwa hidup dan kehidupan baik secara pribadi maupun dalam bermasyarakat berbangsa dan bernegara, tidak selalu hitam dan putih adakalanya abu-abu, ada biru, ada kuning, ada hijau ada merah itulah realitas. Dalam memaknai pesan Maha Raja Krisna dengan senjata Tjakra Wedanya, kepada Arjuna di Padang Kurusetra saat Perang Maha Bharata, kita harus merefleksikannya dalam kehidupan masa kini, bahwa kita harus berjiwa kesatria seperti halnya Arjuna sebagai salah satu kesatria dari Pandawa Lima dan Pandawa Lima harus dimaknai sebagai Pancasila, dengan sila-silanya yang berjumlah lima, sebagai Dasar Negara, Pandangan Hidup dan Filosofi dalam berbangsa dan bernegara bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Bahwa kita pada diri kita harus bisa melawan hawa angkara pada diri kita, bahwa kita harus bisa menghilangkan ego pribadi, untuk kepentingan yang lebih besar yakni masyarakat luas dan bangsa serta negara. Apabila sudah timbul kesadaran adanya panggilan jiwa sebagai Arjuna-Arjuna seperti dalam peperangan Maha Bharata dalam eposnya, maka tindakan mau menang sendiri, mengkafirkan saudara sebangsa yang berlainan keyakinan tidak akan ada, demikian juga ketidakadilan dalam penegakan hukum, tidak akan terjadi, ketidakadilan dalam ekonomi tidak terjadi karena timbul kesadaran bahwa kita harus berbagi kepada sesama, ketidakkeadilan dalam politik juga tidak akan terjadi karena memahami tujuan politik adalah mencapai sebuah keadilan dan kesejahteraan dalam negara bukan mencapai kekuasaan dalam arti sempit untuk diri sendiri dan kelompoknya. Karena adanya pemahaman bahwa diri kita sesungguhnya adalah Arjuna-Arjuna yang diutus oleh Yang Maha Kuasa sebagai pemimpin di muka bumi selaku hamba Tuhan, untuk menegakan keadilan memberantas keangkara murkaan, memberikan payung keadilan disaat hujan atau panas terhadap masyarakat dan menyebarkan cinta kasih terhadap sesama, yang akan bermuara kepada keadilan bagi masyarakat luas dan bangsa serta negara dan hal itu harus dimulai dari diri kita sendiri masing masing.
Adanya korupsi sebagai budaya yang telah berurat berakar di negeri ini, dikarenakan kurangnya kesadaran dan pemahaman atas tugas kita di muka bumi sebagai hamba sekaligus sebagai kesatria, pembela keadilan sebagaimana dengan Arjuna dalam epos Mahabharata dalam perang di Padang Kurusetra.
Dalam kaitan penegakan hukum yang saat ini dipandang paling buruk dalam sejarah sejak berdirinya negara ini, harus dilakukan terobosan berani untuk memperbaikinya. Apakah tetap mempertahankan sistem yang ada saat ini, atau mengganti sistem baru demi tegaknya keadilan dalam penegakan hukum dari para aparat hukum yang adil dan bersih, yang bertanggungjawab bukan saja pada atasan pada negara, akan tetapi juga terhadap Tuhan Yang Maha Esa .
Bahwa peperangan antara yang hak dan batil, antara yang benar dan salah, antara yang jahat dan benar akan selalu ada dan terjadi pada setiap masa dan jaman, karena sifat kedagingan dari diri kita yang telah membungkus ruh kita yang suci yang terdiri dari elemen bumi, air, kayu, api, ke-empat unsur tersebut saling berebut untuk mengalahkan dan mengklaim sebagai pemenang, cahaya ruh kesucian tersebut akan tertutup oleh angkara, oleh hawa amarah dan nafsu pada diri kita sendiri. Dan kita harus bisa memerangi diri didalam kita sendiri, sebagai bagian dari warga negara, bagian dari mayarakat dan bagian dari Alam Semesta. Itu lah pemaknanan dari dialog Sang Kresna dan Arjuna dipadang Kurusetra dalam perang Maha Bharata.
—————————–
Penulis adalah Praktisi Hukum, Penulis dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya , Politik, Hukum dan Sejarah
Komentar Terakhir