Minggu (20/6) lalu, Indonesia kedatangan lagi 10 juta bulk vaksin COVID-19 buatan Sinovac, perusahaan biofarmasi asal Tiongkok. Berita ini tentu menjadi kabar baik demi cita-cita mewujudkan herd immunity (kekebalan kelompok) dapat segera terwujud.

Sayangnya, alih-alih herd immunity, masyarakat Indonesia disebut-sebut saat ini sedang terjebak dalam herd stupidity. Alih-alih herd immunity, masyarakat Indonesia belakangan terjebak dalam herd stupidity. Istilah herd stupidity dilontarkan oleh pakar epidemiologi Pandu Riono Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI).

Aksi Demo Warga Madura Mengatasnamakan Koalisi Masyarakat Madura Bersatu di Depan Kantor Balai Kota Surabaya, Senin (21/6/2021) – kompas.com

Beliau menggambarkan sikap abai pemerintah dan masyarakat terkait pandemi COVID-19 bak kebodohan bersama yang menjadikan Corona di Indonesia tak kunjung mereda, hingga beberapa hari belakangan mencatat lonjakan kasus COVID-19, padahal sebelumnya kasus COVID-19 sudah terlihat perlahan mulai landai. Selain jumlah kasus yang melonjak, saat ini juga ada lebih dari 100 kasus varian baru Corona, termasuk varian Delta yang disebut lebih cepat menular dan memperburuk gejala. Varian ini muncul di saat penerapan protokol kesehatan.

Apa Itu Herd Stupidity?

Dikutip dari urbandictionary, herd stupidity adalah tindakan bodoh yang dilakukan orang-orang bersama-sama, tanpa disadari. Dalam konteks pandemi COVID-19herd stupidity ditandai dengan pelanggaran protokol kesehatan secara komunal alias bersama-sama. 

Seperti yang banyak diperlihatkan di media sosial, banyak orang yang mulai abai akan protokol kesehatan. Misalnya, tetap mudik meski sudah dilarang, berlibur ke tempat ramai, makan tanpa menjaga jarak di restoran, dan nongkrong. Sempat beredar juga cerita di media sosial mengenai orang yang sedang isolasi mandiri tapi malah keluar untuk makan di restoran. Herd stupidity juga dapat digambarkan pada orang-orang yang mempercayai hoaks vaksinasi COVID-19.

Apa dampaknya? Kasus pasien positif melonjak, BOR (bed occupancy rate) fasilitas kesehatan menipis, mutasi virus semakin cepat, dan angka kematian meningkat.

‘Herd stupidity’ adalah plesetan dari ‘herd immunity’ yang seharusnya menjadi salah satu solusi untuk mengakhiri pandemi COVID-19. Bertolak belakang dengan herd immunity, herd stupidity membuat pandemi semakin menjadi-jadi.

Masyarakat maupun pemerintah sehaeusnya sama-sama berperan dalam membentuk herd stupidity ini. Keduanya dinilai tidak pernah kapok dengan risiko kenaikan kasus seperti pasca mudik Lebaran tahun lalu.

“Herd kan komunal, kebodohan bersama. Itu artinya kebodohan bersama, makanya Indonesia herd stupidity. Sudah tahu mudik dilarang, masih pergi. Sudah diingatkan kemungkinan varian baru, nggak peduli. Sudah tahu mudik bisa meningkatkan kasus, tidak dilarang dengan ketat. Ya baik pemerintah maupun masyarakat sama-sama abai,” jelas Pandu Riono sebagiamana di kutip berbagai media, (21/6/2021).

Beberapa alasan mengapa herd stupidity terjadi dalam konteks COVID-19.

  1. Alami Pandemic Fatigue

Meurut psikolog Ikhsan Bella Persada, M.Psi., salah satu hal yang membuat seseorang menjadi abai tersebut adalah pandemic fatigue atau kelelahan pandemik. Pandemi COVID-19 telah berjalan satu tahun lebih dan tanpa disadari dapat membuat orang lelah hingga menjadi lalai. “Pandemic fatigue itu secara emosi dan pikiran mereka merasa lelah dengan kondisi pandemi yang tidak kunjung berakhir. Di lain sisi, orang ingin kembali melakukan aktivitas seperti dulu, misalnya nongkrong atau bepergian,” jelas Ikhsan.

  1. Merasa Aman karena Sudah Divaksin

Melonggarnya protokol kesehatan terjadi karena individu merasa sudah divaksin sehingga sudah pasti aman. Padahal, vaksin sama sekali tidak menjamin Anda kebal dari ancaman infeksi COVID-19. Vaksin hanya membantu menghindarkan Anda dari gejala berat saat terinfeksi.

  1. Kasus Positif Sempat Menurun

Selama beberapa waktu lalu, kasus COVID-19 di Indonesia sempat menurun. Hal ini memang baik, tapi di sisi lain masyarakat jadi merasa pandemi sudah selesai. Orang-orang jadi merasa aman bepergian keluar dan cenderung mengabaikan protokol kesehatan.

  1. Menganggap Keluarga dan/atau Teman, Sehat

Melansir dari UC Davis Health, Kaye Hermanson, psikolog klinis di Departemen Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi mengatakan, lalainya protokol kesehatan bisa terjadi karena orang menganggap berkumpul dengan keluarga atau teman yang terlihat sehat adalah aman. Pertemuan keluarga dan pertemanan pun mulai banyak dilakukan saat pandemi. Padahal, peneliti di Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), dalam Journal of American Medical Association, mengonfirmasi lebih dari setengah kasus COVID-19 di AS ditularkan oleh orang-orang tanpa gejala. Saat tidak menggunakan masker dan menjaga jarak, orang-orang tanpa gejala itu menularkan COVID-19 melalui droplet.

  1. Faktor Lingkungan

Selain itu, menurut Ikhsan, lingkungan juga dapat berpengaruh terhadap lalainya protokol kesehatan selama pandemi. “Lingkungan itu bisa memengaruhi dan membentuk mindset kita. Kalau lingkungannya mengabaikan protokol kesehatan, bisa saja orang lainnya ikutan juga,” kata dia.

“Contohnya di beberapa daerah, banyak orang yang tidak mau divaksin atau dites swab. Masih banyak juga yang enggak pakai masker,” ucapnya. Bisa jadi, itu karena beberapa orang dalam lingkungan tersebut melakukan hal yang sama. Pada akhirnya, orang-orang di sekitarnya jadi ikut terpengaruh.

“Misalnya, ‘jangan mau dites swab memangnya kita tertular COVID-19’, ‘kalau sakit jangan mau ke rumah sakit nanti dipositifkan’, atau ‘jangan mau divaksin nanti meninggal atau sakit’,” Ikhsan mencontohkan.

Hindari herd stupidity. Saring berita yang benar dan setop menyebarkan hoaks.

sumber : detik.com dan klikdokter.com