Situasi pengajaran di sebuah sekolah Katolik di Amerika Serikat/Foto: Image

Pagi tadi, seperti biasa, setelah masuk kereta untuk perjalanan ke Jakarta, saya membuka email untuk melihat-lihat informasi baru. Dari beberapa media online yang saya ikuti selama ini, ada satu media online Katolik AS, namanya Catholic Online, memuat sebuah berita menarik tentang sekolah Katolik di AS.

Berita itu cukup mengejutkan tetapi juga menantang.  Marshal Connolly, sang penuslis, mengawali deskripsinya  agak panjang seputar runtuhnya sistem pendidikan Katolik di Amerika Serikat. Situasinya rumit memang.

Menurut Connolly, pada pertengahan 1960-an, 12 (dua belas) dari 100 (seratus) anak sekolah di Amerika Serikat bersekolah di sekolah Katolik. Bahkan anak yang bersekolah itu bukan Katolik. Pada waktu itu kemungkinan besar seseorang dapat mengenal lebih banyak temannya yang bersekolah di sekolah Katolik. Namun saat ini, angka-angka tersebut menceritakan kisah kehancuran yang mengerikan, di bawah tiga ancaman serius: tinggihnya biaya pendidkan di sekolah Katolik, skandal para imam, dan sikap apatis.

Sebagaimana diterangkan lebih lanjut oleh Connolly, kisah itu lebih dari apa yang diceritakan sejauh ini. Dan menurutnya, inilah jawaban sebenarnya mengapa sistem sekolah Katolik runtuh dan apa yang dapat gereja lakukan untuk membalikkan tren ini. Dalam hal membalikan tren ini, Connolly mengingatkan bahwa Gereja punya banyak pengalaman sukses membalikan situasi krisis dari waktu ke waktu.

Di Era 1960-an, pendidikan Katolik murah tersedia bagi semua yang menginginkannya. Gereja di AS menjalankan lebih dari 13.000 sekolah (jumlah terbesar yang pernah dijalankan oleh lembaga keagamaan manapun) di mana siswa dapat belajar membaca, menulis, dan berhitung. Para katekismus awam dilatih dan menjadi sungguh-sungguh handal.

Hasilnya luar biasa. Sebagian besar siswa melanjutkan ke perguruan tinggi atau mengabdi pada negara. Banyak yang menjadi imam dan anggota ordo religius yang dikirim ke luar AS. Amerika menjadi bangsa terpelajar. Paroki-paroki memiliki staf. Bangku-bangku penuh dengan umat yang datang mengikuti misa pada hari Minggu. Paroki pun terpaksa menambahkan jadual Misa. Sementara itu, para katekismus awam yang handal itu, merekalah yang berada di garda terdepan dalam urusan karya evangelisasi.

Namun situasi kini berbalik. Menurut National Catholic Education Association (NCEA), hanya ada sekitar 6.000 sekolah Katolik yang tersisa di Amerika. Itu penurunan yang mengejutkan, lebih dari 50 persen. Rata-rata 100 sekolah tutup setiap tahun. Dan 209 sekolah ditutup untuk selamanya tahun lalu. Dengan kecepatan seperti ini, diproyeksi tidak akan ada lagi sekolah Katolik yang tersisa hanya dalam beberapa dekade.

Penyebab yang paling sering disebutkan untuk kemunduran ini adalah biaya, skandal, dan sekularisme. Biaya naik karena sedikit saja anak yang bersekolah di sekolah Katolik, tenaga pengajar religius pun terbatas. Sementara, sekolah mempekerjakan orang awam untuk mengajar, banyak dari mereka bahkan bukan Katolik. Faktanya, beberapa bahkan bukan Kristen. Biaya untuk guru awam jauh lebih mahal daripada mempekerjakan kaum religius yang mengajar sebagai bagian dari panggilan hidup mereka.

Belum lagi ada biaya tambahan lainnya, seperti biaya fasilitas, asuransi, biaya untuk buku dan perlengkapan serta materi lainnya, dan anda bisa mengerti mengapa biaya pendidikan Katolik sekitar $ 4.800 per tahun untuk sekolah dasar dan $ 10.000 per tahun untuk sekolah menengah. Itu setara dengan 69.600.000 dan 145.000.000 kalau dirupiahkan. Berapa banyak orang yang memiliki uang sebanyak itu? Tidak banyak.

Skandal menjadi alasan lainnya. Toleransi yang mengejutkan atas pelecehan seksual telah membuat banyak orang menjauh dari Gereja. Siswa Katolik keluar dari sekolah. Pada saat yang sama, umat Katolik yang menerima gagasan sekuler tentang topik-topik seperti hubungan sesama jenis dan aborsi melarikan diri dari Gereja karena mereka “tersinggung” oleh para Pastor yang setia dan berani berbicara tentang kebenaran ajaran iman Katolik.

Meskipun masalah-masalah itu sering disebutkan, jelas hal ini bukan akar persoalannya. Inti masalahnya, menurut Connolly, ada pada kepemimpinan gereja. Connolly mengatakan dengan tegas bahwa terlalu banyak pemimpin Gereja Katolik di AS saat ini yang menganut budaya sekularisme (pop-sekularism). Mereka tidak lagi peduli dengan ajaran iman. Mereka menjadi apatis.

Pada tingkatan akar rumput, situasinya pun sama. Tanyakan saja kepada orang Katolik mana pun tentang dasar-dasar iman mereka. Mintalah setiap orang untuk membuat daftar Sepuluh Perintah saja. Kebanyakan tidak bisa melakukannya. Kebanyakan umat Katolik Amerika tidak bisa melafalkan Sepuluh Perintah!

Faktanya, pendidikan Katolik adalah solusi untuk semua masalah itu. Tetapi dengan mensekulerkan sekolah-sekolah Katolik dan membebankan biaya kuliah pada materi astronomi, sistem tersebut menyabotase dirinya sendiri. Sekolah-sekolah Katolik menyerahkan diri untuk melayani hanya mereka yang cukup beruntung memiliki uang untuk membayar uang sekolah.

Para orang tua yang berkecukupan itu tidak membesarkan anak-anak mereka untuk hidup dalam kemiskinan dan kepatuhan, tetapi untuk menjadi dokter, pengacara, politisi, dan pemilik bisnis. Bagi mereka, ini adalah investasi duniawi yang mereka harapkan akan menghasilkan keuntungan material.

Kondisi seperti itu perlu dibalik. Butuh waktu untuk menerapkan pembalikan peran yang ada, mengembalikan pengajar agama ke ruang kelas. Tetapi ini adalah satu-satunya cara untuk membalikkan keruntuhan berlanjut sekolah Katolik di Amerika. Connolly mendasarkan pembalikan ini, yang kemudian dikenang dan dihidup sepanjang sejarah gereja (lihat: Kontra-Reformasi), dan pada kenyataannya, itu adalah satu-satunya hal yang berhasil. Itu yang dimaksud dengan evangelisasi.

Tetapi evangelisasi tidak hanya terjadi di bangku gereja. Evangelisasi terjadi juga di ruang kelas, di jalan-jalan. Seorang guru agama yang duduk di belakang meja sepanjang hari adalah seorang evangelis yang malang dan malas. Evangelis Katolik yang baik terlihat di depan umum, mempraktikkan dan memberitakan Kabar Baik ke mana-mana, dia tidak hanya duduk di balik meja.

Karena itu, menurut Connolly, penting untuk mengingatkan evangelis Katolik yang malang dan malas itu. Jual meja anda dan pergilah ke luar serta temuilah orang-orang di luar sana.