Per Mariam Ad Jesum“, “Melalui Maria kita sampai kepada Yesus” – Ziarah rohani Keluarga Besar Atawaolo Jakarta ke Gua Maria Tritis, Jogjakarta

Jika Ingin Berjalan Jauh, Maka Jalanlah Bersama.

Seseorang menjadi pribadi yang istimewa ketika dalam dirinya memiliki realitas saling menolong, dan terbuka untuk satu sama lainnya. Karena kita tercipta tidak secara ‘lengkap’ adalah tanda bahwa kita dipanggil untuk menjalin relasi dan membangun persekutuan dengan yang lain. Sehingga “aku” memiliki dimensi gerak untuk “kamu” dan akhirnya membangun persekutuan “kami”.

Jumad, 27 Januari 2023 tidak seperti hari-hari biasa di halaman Panti Sosial Cipayung Jakarta Timur. Ketika itu hari sudah malam. Waktu sudah menunjuk pukul 19.00 WIB. Tampak para anggota kelompok arisan dari Keluarga Besar Atawolo Jakarta berkumpul bersama. Sekitar 78 orang. Wajah mereka ceria dan semringah. Kali ini mereka hendak melakukan perjalanan wisata rohani ke  kota gudeg, Jogjakarta. Mereka berangkat dengan menggunakan bus parisiwata.  Wisata rohani ini diselenggarakan dalam rangka merayakan Natal dan Tahun Baru Keluarga Besar Atawolo Jakarta yang dikemas dengan konsep berbeda.

Setelah diawali dengan serangkaian acara seperti doa dan foto bersama, rombongan wisata rohani itu akhirnya berangkat  sekitar pukul 20.00 WIB. Destinasi wisata yang dituju kali ini adalah Gua Maria Tritis, Paliyan Gunung Kidul Jogjakarta. Jarak tempuh Jakarta Gunung Kidul sekitar 12 jam.

Rasa kekeluargaan sebagai satu keluarga besar Atawolo semakin terasa ketika diperjalanan itu tiap-tiap anggota berbagi kisah hidup mereka. Ditemani alunan musik dan karaoke bersama. Sungguh! Sebuah perjalanan berkesan. Tiba di rest area Cipali, bus yang membawa rombongan wisata itu pun berhenti sejenak.  Di tempat ini rombongan menikmati makan malam dengan sajian menu makan khas Atawolo Lembata. Ada nasi merah, singkong rebus dan jagung titi (keripik jagung).

Sabtu, sekitar pukul 07.00 WIB, sebelum menuju destinasi pertama, rombongan beristirahat sejenak sambil menikmati tiwul kukus gendis manis dengan aneka rasa di Puncak Gunung Kidul. Rombongan kemudian melanjudkan perjalanan ke Gua Maria Tritis. Setibanya di parkiran Gua Maria Tritis, kami mendapat sambutan hangat dari Ibu-ibu penjual lilin dan bunga. Satu persatu dari kami pun membeli lilin dan meraka bersedia mengantarkan kami menuju Gua Maria layaknya pemandu wisata sambil menjelaskan secara rinci tentang Gua Maria Tritis. Jalan menuju Gua Sekitar 200 meter dari tempat parkiran dengan menuruni anak tangga semen yang tertata rapih dikelilingi pepohonan hijau. Sri Ningsih, salah satu pemandu yang mengatarkan kami, menuturkan warga disini yang Katolik ada 15 Kepala Keluarga dan karna hari ini sabtu akan ada banyak pesiarah yang datang.  

Rombongan Wisata Rohani Keluarga Besar Atawolo ketika tiba di Gua Maria Tritis, Jogjakarta

Adapun Gua Maria Tritis merupakan salah satu tempat ziarah umat katolik sejak tahun 1977. Adalah Romo AL Hardjasudarma SJ yang membersihkan tempat tersebut dan menjadikan tempat doa. Dimana pada awalnya, gua itu digunakan untuk tempat ritual kejawen masyarakat setempat. Seiring waktu dengan berkembangnya umat katolik di daerah ini pengurus paroki mengurus perijinan menjadikan gua itu sebagai salah satu peribadatan umat katolik. Selain tempat ibadah umat Katolik, Gua Maria Tritis juga sering dijadikan tempat untuk mencari ketenangan jiwa oleh pemeluk agama lain. Dimana Gua Maria Tritis termasuk jenis gua horizontal, yang mana ketika memasuki area gua, kita akan menemukan beberapa stalaktit yang masih hidup. Uniknya, tetesan air dari stalaktit tersebut akan ditampung dan peziarah dapat mengambil segarnya air dari gua alami ini.

“Per Mariam ad Jesum, “Melalui Bnda Maria Kita sampai kepada Yesus”

Cuaca yang bersahabat menemani ziarah yang penuh khusuk dengan doa rosario bersama dipimpin Ketua panitia Bapa Faris Namang. diselingi ujud-ujud setiap peristiwa yang disesuaikan dengan situasi pergumulan masing-masing anggota arisan dan situasi kelompok secara spontan. Suasana doa rosario pun kian syahduh, saat doa Salam Maria bergilir. Bapa Boly Rebong dan Bapa Tola Henakin membawakan doa Salam Maria dengan nyanyian ratapan Salam Maria, yang bagi sebahagian besar kami, terutama generasi milenial baru mendengarnya, indah, syahduh dan menggema menusuk hingga ke hati sanubari yang terdalam. Nampak sebahagian dari para perziarah tak kuasa, menahan rasa haru hingga meneteskan air mata selama doa rosario berlangsung. Bahkan ada juga yang hampir tak mampu lagi melanjudkan doa Salam Maria hingga selesai membuat para peziarah lainnya pun hanyut terbawa suasana. Teringat kembali kata-kata Santa Theresa Lisieux “Dalam cobaan atau kesulitan, Saya meminta bantuan kepada Bunda Maria, yang hanya dengan pandangan saja sudah cukup untuk menghilangkan rasa takut.”

Dalam renungan singkat yang dibawakan diakhir doa rosario, Bapa Yoseph Pemulet Namang, menekankan pentingnya persatuan sebagai perantau yang berasal dari satu kampung Atawolo untuk selalu kompak. “Tidak semua yang merantau di Jakarta bertahan dan tidak semua yang diimpikan akan tercapai, namun berkat leluhur lewo tanah dan penyerahan diri yang total kepada Tuhan Yesus dan Bunda Maria, semua usaha dan tantangan pasti dilewati. Bapa Yoseph juga menekankan agar kelompok arisan tetap solid, tetap menjaga semangat kekeluargaan dan saling tolong menolong atau gemohing. Rosario diiringi lagu-lagu Maria khas Lamaholot Flores, Ina Maria Ata Saren dan ditutup lagu Oh Ina Maria Senaren.

Ketua Perhimpunan Keluarga Besar Atawolo Jakarta Bapak Boli Rebong foto bersama salah satu anggota keluarga Atawolo, Bapak Petrus Ado Ladjar

Setelah doa rosario bersama dan foto-foto bersama di pelataran Gua Maria, rombongan melanjudkan sarapan pagi, yang telah disiapkan salah satu umat Paroki setempat yang adalah mertua dari Bapa Heron Henakin. Sajian nasi bungkus daun jati, singkong rebus, talas rebus dan aneka makanan lokal khas Gunung Kidul Jojga membuat suasana semakin akrab. Saat menikmati sarapan pagi, salah satu pesiarah. Mama Ema, mensharingkan betapa tanpa sadar dia meneteskan air mata saat syair-syair Maria dalam bahasa Lamaholot dinyanyikan, “saya begitu terharu, suasana doa yang begitu khusuk dan tanpa sadar air mata saya menetes, entah kenapa, semoga Bunda Maria menjawab semua doa-doa dan pergumulan hidup kami sekeluarga.

Sejenak beristirahat setelah makan bersama, sambil menikmati udara segar dan tenaga terisi kembali, rombongan kembali ke bus melanjudkan perjalanan untuk destinasi wisata ke dua, wisata alam ke pantai Indrayanti. Sepanjang perjalanan kami disuguhkan pemandangan pegunungan hijau dipenuhi pohon jati, perkebunan Jagung, diantara batu karang dengan jalan berkelok-kelok, sawah kering dan padi yang siap dipanen petani. Pemandangan bebatuan karang membawa imajinasi kami kembali ke NTT seperti suasana di pulau Timor Kupang dan Waijarang Lembata yang alamnya dipenuhi batu karang.

Matahari belum tinggi, saat rombongan kami tiba di pantai Indrayanti. Nampak banyak wisatawan asyik bercengkerama, sesekali sambil bergaya untuk diambil gambarnya. Rombongan langsung menikmati pasir putih dan sebahagian lagi asik mengejar ombak, bermain pasir dan sebagian lainnya bersantai di pinggir pantai sambil menikmati segarnya kelapa muda. Tak lupa kami mengabadikan momen-moment bahagia bersama keluarga, hingga jam dua sore. Setelah mengekplorasi pantai Indrayanti, rombongan kembali ke pelataran Gua Maria Tritis untuk makan siang bersama, sebelum melanjudkan perjalanan ke Jogjakarta, dengan tujuan The Victoria Hotel Jogjakarta.

Setibanya di hotel, setelah menempati kamar masing-masing, pukul 19.30 rombongan kembali melakukan acara ramah-tamah dan beberapa games yang dipandu Bapa Faris Namang dan Ibu Monika Luon yang membuat semarak suasana sambil menikmati suguhan kopi dan teh yang disediakan pihak hotel. Game mengatakan cinta kembali kepada pasangan menjadi game yang paling seruh. Empat pasangan mendapat giliran mengatakan kembali cinta mereka kepada pasangannya, Bapa Tola dan pasangan, Bapa Petrus dan pasangan, Bapa Sony dan pasangan, Bapa Anton dan pasangan, Arkian Nuban dan pasangan serta Koka Namang dan pasangan. Salah satu peserta game Bapa Tola Henakin, kepada pasangannya mengatakan, Terima Kasih karena sudah menemani ku bersama sampai tua, semoga kita tetap sehat sampai ajal menjeput.

Acara santai bersama, moment mempererat tali persahabatan sebagai satu keluarga besar Atawolo Jakarta

Sementara itu Ketua Keluarga Besar Atawolo Lembata di Jakarta, Bapak Boly Rebong Ketua Keluarga Besar Atawolo Jakarta dalam sharingnya mengingatkan kembali agar suasana kekompakan dan kebersamaan ini tetap terjaga. Dimana generasi muda Atawolo harus terus menjaga tali persaudaraan. Bapa Boly Rebong juga berpesan kepada semua keluarga dan generasi muda, untuk mengutamakan pendidikan, karena hanya dengan pendidikan yang baik, dapat mengubah masa depan yang lebih baik juga. Acara ramah tamah pun ditutup dengan bersama menyanyikan lagu kemesraan ini jangan cepat berlalu, sambil bergandengan tangan.

Tentu saja, kalau wisata ke Jogjakarta, Kota Gudeg, kalau tidak menikmati kelesatan gudeg sebagai makanan khas, rasanya belum lengkap. Gudeg sendiri mulai populer tahun 1940an saat Presiden Soekarno membangun Universitas Gajah Mada hingga sekarang. Dimana Kampus UGM juga merupakan Kampusnya Bapa Boly Rebong saat melanjudkan pendidian S1. Rombongan pun diarahkan menuju jalan Magelang sekitar pukul 21.00 ke warung Yu Yah, warung gudeg lengkap lesehan dengan oseng-oseng dan 20 menu spesial yang cukup terkenal di Jogjakarta. Kami dipersilahkan mengambil dan memilih sendiri menu sesuai selera, dari 20 menu spesial yang ditawarkan.  Setelah santap malam dan menikmati suasana malam Kota Jogjakarta sekitar pukul 23.00 wib, kami pun diantarkan kembali ke penginapan untuk beristirahat.

Keesokan paginya, Minggu sekitar jam 5.30 di Kolam renang The Viktori Nampak anak-anak asik berenang disaksikan orang tua mereka masing-masing sambil duduk santai bercengkerama menikmati suasana The Viktory. Sementara yang lain menikmati sarapan pagi di resto karena pengumuman WA grup dari panitia Jam 8.00 semua sudah kembali berkumpul. Rombongan pun meninggalkan The Viktori Sekitar jam 8.00 wib pagi, karena ada dua destinasi yang harus dikunjungi, sebelum kembali ke Jakarta. Bus satu menuju pusat oleh-oleh Batik di seputaran Malioboro dan Bus dua menuju pusat oleh-oleh Bakpia, yang nanti akan bertemu di Taman Pintar, untuk mengelilingi pusat wisata Malioboro.

Setibanya di Malioboro, saat turun dari Bus, langsung dtawari “ayo mas becak motor Cuma 15.000 keliling Mallioboro, sate-sate, ada nasi kucing, Cuma 6000, andong-andong mas, keliling Malioboro.” Nampak sebahagian rombongan mengelilingi Malioboro mencari oleh-oleh, ada lagi yang duduk menikmati Nasi Kucing, Kopi dan sate, sementara ada lagi asik mengabadikan gambar kebersamaan berada di Jalan Malioboro bersama keluarga dan ada juga yang menyempatkan diri ke Gereja St.Fransiskus Xaverius yang kebetulan letaknya persis berada disamping taman pintar, depan jalan utama Malioboro.

Dari Malioboro Jogjakarta, sekitar Jam 12.00 Wib, kami menuju destinasi terakhir, ke Kabupaten Magelang, menikmati wisata budaya Candi Borobudur. Perjalanan menuju candi Borobudur, kami tempuh dalam waktu satu setengah jam, diguyur hujan sepanjang perjalanan. Sebelum menikmati keindahan Candi Borobudur, kami menyempatkan untuk makan siang bersama. Adapun menurut informasi petugas, sejak adanya aturan baru dari pemerintah, wisatawan hanya bisa berfoto-foto di luar Candi dengan jarak satu meter dengan tiket masuk Candi Rp25.000 per orang.

Rombongan Wisata Rohani Keluarga Besar Atawolo Jakarta berkunjung ke Candi Borobudur

Meskipun cuaca sedikit hujan dan gerimis tak menghalangi kami untuk sampai ke halaman candi. Jalan mengitari candi lumayan jauh, namun nampak semua menikmati sambil asik mengabadikan momen langka dan indah tersebut. Setelah selesai mengeksplor Candi Borobudur, kami kembali menuju Jakarta sekitar Pukul 16.00, Keraoke bersama di bus, menemani kami sepanjang perjalanan pulang dengan tujuan destinasi terakhir rest area Pabrik Gula KM260 sebelum kembali ke Cipayung.

(Luher & Lakor)